1. Meditasi untuk Pencerahan
Seorang Guru Besar Zen - Hakuin - pernah pada suatu ketika ditanya :
' Sensei - bagaimanakah Buddhisme yang benar itu? '
Hakuin menjawab singkat : Mata Lurus, Hidung Tegak, Itulah Buddhisme yang Benar !
Pesan jelas dari jawaban yang sangat lugas ini adalah bahwa Buddhisme adalah Meditasi ! Pencarian Jalan di dalam diri untuk menemukan Pencerahan.
Meditasi dan Pencerahan. Dua hal inilah Tulang Punggung, Tonggak dari Ajaran Buddhisme Zen.
Seorang Guru Besar Zen - Hakuin - pernah pada suatu ketika ditanya :
' Sensei - bagaimanakah Buddhisme yang benar itu? '
Hakuin menjawab singkat : Mata Lurus, Hidung Tegak, Itulah Buddhisme yang Benar !
Pesan jelas dari jawaban yang sangat lugas ini adalah bahwa Buddhisme adalah Meditasi ! Pencarian Jalan di dalam diri untuk menemukan Pencerahan.
Meditasi dan Pencerahan. Dua hal inilah Tulang Punggung, Tonggak dari Ajaran Buddhisme Zen.
2. Pencarian di Dalam - melepas segala Konsep dan Kata
Meditasi sebagai tonggak dalam ajaran Zen menuntut Pencarian di Dalam, bukan di Luar. Meditasi Zen berarti menyatukan ' diri ' yang terbatas dengan ' Diri ' - diri yang tak terbatas, yang berada tidak jauh - dalam diri sendiri.
Ketika seorang Bima dalam kisah Dewaruci masih mencari di luar : mencari hal-hal di luar untuk dikalahkan - Naga di dasar Laut, Raksasa di atas Gunung, ia belum menemukan Zen. Ketika ia telah menemukan Dewaruci yang ternyata berada dekat sekali dengannya - di dalam tubuhnya sendiri, di telinganya dan ia mulai mendengarkan bisikan dari Dewaruci yang merupakan replika dirinya itu - pada saat itu ia mulai memahami Zen. Proses masuk ke Zen baru dimulai ketika seseorang mulai melepas pencarian di luar, melepas konsep dan kata-kata.
Kisah Alexander Agung dan Pertapa India seperti ditulis Anand Krishna dalam bukunya yang berjudul Telaga pencerahan di Tengah Gurun Kehidupan - berkisah tentang hal yang serupa. Latarbelakang kisah ini adalah ketika Alexander Agung bermaksud meninggalkan India, salahsatu tanah jajahannya pada waktu itu dan bermaksud pulang ke Yunani :
Setelah
menaklukkan sebagian besar dunia, dalam keadaan capai dan sakit-sakitan
Alexander memutuskan kembali ke Macedonia, di negeri Yunani, tanah leluhurnya.
Dalam perjalanan pulang, ia teringat pesan seorang rohaniwan Yunani, ' Kelak
kalau kau pulang, Alexander, ajaklah seorang rohaniwan India. Kita dapat
belajar banyak darinya '.
Alexander pernah mendengar tentang seorang rohaniwan, seorang sanyasin - seorang pertapa yang tinggal di tengah hutan. Kebetulan ia akan melewati hutan itu. Ia mencari alamat sang sanyasin.
Berteduh di bawah pohon beringin yang lebat, dari jauh ia melihat sang sanyasin dalam keadaan telanjang bulat. ( kebiasaan pertapa India waktu itu - catatan penulis ). Alexander mengutus seorang prajurit untuk memberitahu tentang keberadaannya, dan minta agar sang sanyasin mau datang menemuinya.
' Katakan pada Alexander bahwa aku tidak perlu kemana mana. Aku tidak membutuhkan apa pun. Apabila ia ingin bertemu denganku, silahkan ke sini. Tapi aku tidak akan kemana mana '.
Alexander bingung, kesal dan marah. Baru pertama kali ini ada orang yang begitu berani 'kurang-ajar' kepadanya. Tetapi ia menahan diri. Ia pernah mendengar bahwa para sanyasin, para pertapa memang agak aneh, kalau bukannya sinting. Alexander mendatangi sang sanyasin.
' Sanyasin - aku Alexander, Alexander yang Agung '.
Sang Sanyasin tersenyum, ' Yang Agung ? Aku dengar engkau meninggalkan tanah leluhurmu untuk menaklukkan dunia '.
' Benar, itulah aku, Alexander yang Agung ! ' - memang agak arogan, tapi memang demikianlah seorang Alexander.
Sang Sanyasin mengangkat sedikit kepalanya, ' Katakan, Alexander, kamu memang Agung sejak dulu, atau menjadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian besar dunia ini ? '
Alexander pernah mendengar tentang seorang rohaniwan, seorang sanyasin - seorang pertapa yang tinggal di tengah hutan. Kebetulan ia akan melewati hutan itu. Ia mencari alamat sang sanyasin.
Berteduh di bawah pohon beringin yang lebat, dari jauh ia melihat sang sanyasin dalam keadaan telanjang bulat. ( kebiasaan pertapa India waktu itu - catatan penulis ). Alexander mengutus seorang prajurit untuk memberitahu tentang keberadaannya, dan minta agar sang sanyasin mau datang menemuinya.
' Katakan pada Alexander bahwa aku tidak perlu kemana mana. Aku tidak membutuhkan apa pun. Apabila ia ingin bertemu denganku, silahkan ke sini. Tapi aku tidak akan kemana mana '.
Alexander bingung, kesal dan marah. Baru pertama kali ini ada orang yang begitu berani 'kurang-ajar' kepadanya. Tetapi ia menahan diri. Ia pernah mendengar bahwa para sanyasin, para pertapa memang agak aneh, kalau bukannya sinting. Alexander mendatangi sang sanyasin.
' Sanyasin - aku Alexander, Alexander yang Agung '.
Sang Sanyasin tersenyum, ' Yang Agung ? Aku dengar engkau meninggalkan tanah leluhurmu untuk menaklukkan dunia '.
' Benar, itulah aku, Alexander yang Agung ! ' - memang agak arogan, tapi memang demikianlah seorang Alexander.
Sang Sanyasin mengangkat sedikit kepalanya, ' Katakan, Alexander, kamu memang Agung sejak dulu, atau menjadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian besar dunia ini ? '
'
Apa maksudmu, Sanyasin ? ' Alexander tidak memahami persis apa yang dimaksud
oleh sanyasin.
' Begini, Alexander, kalau kau Agung sejak dulu, kau tidak akan bersusah-payah keliling dunia untuk menaklukkannya. Kalau memang begitu, berarti kau dulu tidak Agung. Dulu masih kekurangan sehingga kau keliling dunia untuk mengisi kekuranganmu itu. Kau menjadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian dunia. Bayangkan, Alexander, jikalau ada yang lebih berhasil dari mu, keagungan itu akan hilang juga. Nah, kau memang agung sejak dulu atau baru jadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian dunia ? '
Alexander menganggap pertanyaan itu sebagai sindiran. ' Dengarkan, Sanyasin, tidak pernah ada yang berani berbicara seperti itu kepadaku. Aku masih menghormatimu. Aku datang ke sini untuk mengundangmu, mengajak kamu ke Yunani, ke negara ku yang subur, sejahtera, damai. Segala kebutuhanmu akan kupenuhi. '
' Sayang, Alexander, kau terlambat puluhan tahun. Sekarang aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun.Aku juga tidak perlu pergi kemana pun - jawab sang Sanyasin. '
' Sanyasin, mungkin kau tidak tahu bahwa penolakanmu dapat berakibat fatal. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Sadarkah bahwa engkau menolak seorang Alexander ? ' - rupanya Alexander benar-benar marah.
' Aku sadar, aku sedang menolak seorang pengemis - seorang yang tidak puas, tidak pernah merasa puas dan tidak merasa cukup dengan apa yang ia miliki sehingga ia harus menaklukkan dunia ini. Sadarkah kamu ,Alexander, bahwa keinginanmu untuk menaklukkan dunia ini timbul karena kamu tidak puas, tidak pernah puas dengan apa yang kamu miliki ? ' Kau kosong, hampa ! Dan kau ingin mengisi kekosongan dirimu, kehampaan jiwamu, dengan gelar ' Yang Dipertuan Agung '. Kau ingin mengisi kehampaan batinmu dengan kemenangan-kemenangan yang tidak berarti - suara sanyasin pelan, datar, tetapi jelas. Kata-kata itu telak menusuk jiwa Alexander '.
' Dan tentang ancamanmu Alexander - ketahuilah bahwa untuk itu pun kamu telah terlambat puluhan tahun. Yang dapat mati telah lama mati. Badan ini, ada atau tidak - sudah tidak menjadi persoalan lagi. Aku tidak pernah mati. Kembalilah, Alexander - pulanglah ke Yunani dan renungkanlah kata-kataku ini - kata sang Sanyasin menasihati. '
Alexander yang Agung menangis, mencucurkan airmata seperti seorang anak kecil. Sang Sanyasin memeluknya. ' Tenanglah, anakku, tenang. Berdamailah dengan dirimu, dalam jiwamu. Segala sesuatu yang kau cari itu berada dalam dirimu sendiri. Keagungan tidak datang dari luar. Keagungan berasal dari dalam dirimu sendiri. Kenalilah dirimu - temukan dirimu dan kau tidak akan membutuhkan sesuatu apa pun lagi dari luar. '
' Begini, Alexander, kalau kau Agung sejak dulu, kau tidak akan bersusah-payah keliling dunia untuk menaklukkannya. Kalau memang begitu, berarti kau dulu tidak Agung. Dulu masih kekurangan sehingga kau keliling dunia untuk mengisi kekuranganmu itu. Kau menjadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian dunia. Bayangkan, Alexander, jikalau ada yang lebih berhasil dari mu, keagungan itu akan hilang juga. Nah, kau memang agung sejak dulu atau baru jadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian dunia ? '
Alexander menganggap pertanyaan itu sebagai sindiran. ' Dengarkan, Sanyasin, tidak pernah ada yang berani berbicara seperti itu kepadaku. Aku masih menghormatimu. Aku datang ke sini untuk mengundangmu, mengajak kamu ke Yunani, ke negara ku yang subur, sejahtera, damai. Segala kebutuhanmu akan kupenuhi. '
' Sayang, Alexander, kau terlambat puluhan tahun. Sekarang aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun.Aku juga tidak perlu pergi kemana pun - jawab sang Sanyasin. '
' Sanyasin, mungkin kau tidak tahu bahwa penolakanmu dapat berakibat fatal. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Sadarkah bahwa engkau menolak seorang Alexander ? ' - rupanya Alexander benar-benar marah.
' Aku sadar, aku sedang menolak seorang pengemis - seorang yang tidak puas, tidak pernah merasa puas dan tidak merasa cukup dengan apa yang ia miliki sehingga ia harus menaklukkan dunia ini. Sadarkah kamu ,Alexander, bahwa keinginanmu untuk menaklukkan dunia ini timbul karena kamu tidak puas, tidak pernah puas dengan apa yang kamu miliki ? ' Kau kosong, hampa ! Dan kau ingin mengisi kekosongan dirimu, kehampaan jiwamu, dengan gelar ' Yang Dipertuan Agung '. Kau ingin mengisi kehampaan batinmu dengan kemenangan-kemenangan yang tidak berarti - suara sanyasin pelan, datar, tetapi jelas. Kata-kata itu telak menusuk jiwa Alexander '.
' Dan tentang ancamanmu Alexander - ketahuilah bahwa untuk itu pun kamu telah terlambat puluhan tahun. Yang dapat mati telah lama mati. Badan ini, ada atau tidak - sudah tidak menjadi persoalan lagi. Aku tidak pernah mati. Kembalilah, Alexander - pulanglah ke Yunani dan renungkanlah kata-kataku ini - kata sang Sanyasin menasihati. '
Alexander yang Agung menangis, mencucurkan airmata seperti seorang anak kecil. Sang Sanyasin memeluknya. ' Tenanglah, anakku, tenang. Berdamailah dengan dirimu, dalam jiwamu. Segala sesuatu yang kau cari itu berada dalam dirimu sendiri. Keagungan tidak datang dari luar. Keagungan berasal dari dalam dirimu sendiri. Kenalilah dirimu - temukan dirimu dan kau tidak akan membutuhkan sesuatu apa pun lagi dari luar. '
3. Pengalaman Langsung
Zen menuntut pengalaman langsung - bukan hasil pemikiran teori atau hasil menjalankan suatu ritual tertentu. Satu-satunya ' iman ' yang dituntut dari seorang praktisi Zen adalah keyakinannya pada pencerahan Siddharta !
Meditasi harus dijalani dengan tubuh ini - bukan dengan pikiran atau yang lain.
Seorang Master Zen pernah mengatakan : ' Dalam tubuh yang tak lebih dari dua meter inilah - seseorang dengan ketekunan akan menemukan Buddha ! '
4. Laku - bukan Filsafat !
Zen adalah Laku , bukan Filsafat ! Anand Krishna dalam bukunya : Zen untuk Orang Modern - menggambarkannya dengan sangat jelas -
Zen bukanlah Filsafat
Ia adalah Falsafah ,
sebuah Laku Hidup.
Filsafat melahirkan Konsep
Falsafah membebaskan diri dari Konsep.
Filsafat menyibukkan pikiran
Falsafah mengistirahatkan pikiran.
Filsafat mengikat.
Falsafah membebaskan.
Akan tetapi - masalahnya adalah - bila Laku Zen ini pun kita jadikan konsep untuk dibicarakan, didiskusikan, diperdebatkan - ia akan kembali menjadi filsafat.
Kembali ke Zen :
Zen adalah Za - Zen.
Duduk Diam.
Punggung Lurus.
Buka mata hati.
Masuk ke dalam diri - M e d i t a s i !
Zen menuntut pengalaman langsung - bukan hasil pemikiran teori atau hasil menjalankan suatu ritual tertentu. Satu-satunya ' iman ' yang dituntut dari seorang praktisi Zen adalah keyakinannya pada pencerahan Siddharta !
Meditasi harus dijalani dengan tubuh ini - bukan dengan pikiran atau yang lain.
Seorang Master Zen pernah mengatakan : ' Dalam tubuh yang tak lebih dari dua meter inilah - seseorang dengan ketekunan akan menemukan Buddha ! '
4. Laku - bukan Filsafat !
Zen adalah Laku , bukan Filsafat ! Anand Krishna dalam bukunya : Zen untuk Orang Modern - menggambarkannya dengan sangat jelas -
Zen bukanlah Filsafat
Ia adalah Falsafah ,
sebuah Laku Hidup.
Filsafat melahirkan Konsep
Falsafah membebaskan diri dari Konsep.
Filsafat menyibukkan pikiran
Falsafah mengistirahatkan pikiran.
Filsafat mengikat.
Falsafah membebaskan.
Akan tetapi - masalahnya adalah - bila Laku Zen ini pun kita jadikan konsep untuk dibicarakan, didiskusikan, diperdebatkan - ia akan kembali menjadi filsafat.
Kembali ke Zen :
Zen adalah Za - Zen.
Duduk Diam.
Punggung Lurus.
Buka mata hati.
Masuk ke dalam diri - M e d i t a s i !
5. Kesadaran Hishiryo - Menjadi Sederhana
Taisen Deshimaru berbicara tentang apa yang dalam bahasa Jepang disebut Hishiryo - Kesadaran Hishiryo. Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran akan kesederhanaan hidup. Satu hal yang menyebabkan mengapa Zen amat sulit bagi kebanyakan orang adalah karena Zen menuntut kita untuk menjadi sederhana.
Dunia modern dengan segala corak kehidupan masyarakatnya yang khusus, pendidikan modern yang selalu menuntut kita untuk berpikir hitam putih dan menganalisa segala sesuatu - telah menyebabkan kita secara tanpa sadar menjadi rumit , menjadi kompleks.
Kesadaran Hishiryo bukanlah sesuatu yang misterius atau esoterik. Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran yang seharusnya demikian dalam memandang suatu kehidupan. Suatu kesadaran yang seharusnya normal-normal dan biasa saja. Masalahnya adalah bahwa apa yang seharusnya biasa telah menjadi tidak biasa bagi sebagian besar manusia karena pikiran kita yang telah dipenuhi oleh konsep-konsep, analisa pemikiran dlsbnya. Kesadaran Hishiryo ini akan mengarahkan kita untuk mencari harmoni dengan apa yang ada di sekitar kita : alam , manusia dan makhluk lain - dan terutama juga dengan ' diri ' kita sendiri. Kesadaran ini akan membebaskan kita dari segala sesuatu yang hanya mengacu pada ' aku ' , pada ' diriku ' - tetapi akan membawa kita ke suatu wawasan yang jauh lebih luas - yang pada akhirnya dengan ketekunan akan mengantar kita pada tingkat kesadaran tertinggi : Kesadaran Murni, Kesadaran Kosmis, Kesadaran No - Mind , Shunyata - Pencerahan Total.
Taisen Deshimaru berbicara tentang apa yang dalam bahasa Jepang disebut Hishiryo - Kesadaran Hishiryo. Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran akan kesederhanaan hidup. Satu hal yang menyebabkan mengapa Zen amat sulit bagi kebanyakan orang adalah karena Zen menuntut kita untuk menjadi sederhana.
Dunia modern dengan segala corak kehidupan masyarakatnya yang khusus, pendidikan modern yang selalu menuntut kita untuk berpikir hitam putih dan menganalisa segala sesuatu - telah menyebabkan kita secara tanpa sadar menjadi rumit , menjadi kompleks.
Kesadaran Hishiryo bukanlah sesuatu yang misterius atau esoterik. Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran yang seharusnya demikian dalam memandang suatu kehidupan. Suatu kesadaran yang seharusnya normal-normal dan biasa saja. Masalahnya adalah bahwa apa yang seharusnya biasa telah menjadi tidak biasa bagi sebagian besar manusia karena pikiran kita yang telah dipenuhi oleh konsep-konsep, analisa pemikiran dlsbnya. Kesadaran Hishiryo ini akan mengarahkan kita untuk mencari harmoni dengan apa yang ada di sekitar kita : alam , manusia dan makhluk lain - dan terutama juga dengan ' diri ' kita sendiri. Kesadaran ini akan membebaskan kita dari segala sesuatu yang hanya mengacu pada ' aku ' , pada ' diriku ' - tetapi akan membawa kita ke suatu wawasan yang jauh lebih luas - yang pada akhirnya dengan ketekunan akan mengantar kita pada tingkat kesadaran tertinggi : Kesadaran Murni, Kesadaran Kosmis, Kesadaran No - Mind , Shunyata - Pencerahan Total.
6. Jalan Tengah
Zen mengajar kita untuk tidak menjadi ekstrim dalam hal apa pun.Latihan Zen yang keras dengan laku disiplin yang tinggi bukanlah untuk mengarahkan kita menjadi keras. Sebaliknya - latihan ini dimaksudkan agar kita dapat mencapai suatu kondisi mental yang teguh, tidak mudah goyah dan tidak mudah terjebak ke satu ekstrim - dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain.Agar kita dapat selalu berada dalam kesadaran mental yang seimbang - menjalani hidup yang tak tergoyahkan oleh hedonisme atau pun pelarian dari dunia.
Ada orang yang terus hidup sangat duniawi - ada yang lain yang seolah melarikan diri dari dunia dan mungkin dengan demikian mengira bahwa ia telah hidup di rancah spiritual. Zen mengajar kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran dualisme hitam putih. Bagaimana pun kita hidup di dunia dan sampai tahap tertentu harus menjalani kehidupan dunia. Tetapi segi spiritual, segi bathin - amatlah penting untuk peningkatan evolusi jiwa manusia dan kita tidak boleh terjebak dalam maya - ilusi dunia.
Dualisme adalah produk dari pikiran - Zen berupaya untuk mengembalikan kita pada hakikat kesatuan dari segala sesuatu dan men-sintesa-kan keseluruhan dari kita ke suatu kondisi yang seimbang.
Pengantar untuk pokok-pokok ajaran berikut :
Buddhisme Zen menurut Prof Dr. Suzuki adalah bagaikan sebuah organisme yang hidup. Organisme yang hidup tumbuh dan berkembang. Benih Buddhisme berasal dari India - diturunkan oleh Siddharta, sang Buddha - kepada Mahakasyapa. Benih ini kemudian tumbuh dan berkembang. Seribu tahun kemudian dengan kedatangan Bodhidharma di Tiongkok, benih Buddhisme ini mencapai Tiongkok dan di sana bertemu dengan sebuah lapangan pergulatan baru. Buddhisme Zen ( yang di Tiongkok disebut Chan ) bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme. Terjadilah tatap muka, pergulatan. Beberapa aspek ajaran Taoisme dan Konfusianisme terserap masuk. Buddhisme Zen muncul dengan wajah baru - ia menjadi lebih lengkap. Ajaran Taoisme yang mengutamakan harmoni dengan alam semesta memperindah wajah Buddhisme yang sedang tumbuh ini. Ajaran Konfusianisme yang mengutamakan pragmatisme dalam memandang hidup menambah warna. Tekanan dalam ajaran Buddhisme Zen agar hidup dalam ke-kini-an , saat ini - memperoleh penguatan dari ajaran Konfusius.
Tetapi - inti dari Zen tetaplah Buddhistis. Inti Zen adalah semata-mata ajaran Inti Siddharta - sang Buddha. Meditasi dan Pencerahan. Tanpa keduanya - tonggak Zen runtuh. Tidak ada lagi Zen. Praktisi Zen sangat mengetahui hal itu.
Sementara berkembang pendapat-pendapat ekstrim dari mereka yang kurang memahami.
Ada yang mengatakan bahwa Zen tidak lain merupakan suatu ' perkawinan ' , suatu sintesa antara Buddhisme dan Taoisme - antara India dan Tiongkok.
Ada ahli lain seperti Prof. Fung Yu Lan yang justru mengatakan bahwa Zen tidak lain adalah Konfusianisme dalam perkembangan lanjut - yaitu apa yang dia katakan sebagai Neo- Konfusianisme. Demikian pula halnya dengan Prof. A.K. Coomaraswamy yang menulis bahwa Zen adalah satu bentuk Buddhisme yang tercemar - suatu pendapat yang sangat bias dan amat sangat tergesa-gesa.
Saya pikir pendapat-pendapat tersebut muncul dari pengamat yang hanya melihat dari luar saja. Seorang praktisi Zen akan sangat mengerti bahwa apa yang dilakukan dalam latihan adalah Inti dari ajaran Buddha itu sendiri - bukan yang lain. Meditasi untuk Pencerahan - Itulah Zen ! Inilah ajaran Buddha - inti ajaran yang diturunkan pada Mahakasyapa. Jalan Zen adalah Jalan Buddha.
Karenanya - sangat bagus penggambaran dari Anand Krishna yang mengatakan bahwa Zen adalah Buddhisme yang benihnya berasal dari India, benih itu kemudian tumbuh dan berbunga di Tiongkok ( ketika bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme dan menyerap beberapa aspek ajaran-nya ) dan kemudian berbuah di Jepang - ketika cara hidup khas Jepang yang sangat kreatif mengubah dan memperindah Zen sampai pada bentuk yang kita kenal sekarang ini. Di Jepang - lah Zen kemudian melatarbelakangi filosofi arsitektur Taman dan Ruang, seni merangkai bunga Ikebana, seni drama Noh, upacara minum teh Cha No Yu, permainan pedang para pendekar Samurai Jepang dan Ilmu Bela Diri. Yang disebut terakhir ini sebenarnya telah mulai di Tiongkok ketika Bodhidharma mendirikan biara Shaolin di Lo Yang - Tiongkok.
Atau ibarat sosok yang berpakaian dan berhias - sosok tubuh Zen adalah Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme menjadi ibarat pakaian dan perhiasan yang dikenakannya.
Zen mengajar kita untuk tidak menjadi ekstrim dalam hal apa pun.Latihan Zen yang keras dengan laku disiplin yang tinggi bukanlah untuk mengarahkan kita menjadi keras. Sebaliknya - latihan ini dimaksudkan agar kita dapat mencapai suatu kondisi mental yang teguh, tidak mudah goyah dan tidak mudah terjebak ke satu ekstrim - dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain.Agar kita dapat selalu berada dalam kesadaran mental yang seimbang - menjalani hidup yang tak tergoyahkan oleh hedonisme atau pun pelarian dari dunia.
Ada orang yang terus hidup sangat duniawi - ada yang lain yang seolah melarikan diri dari dunia dan mungkin dengan demikian mengira bahwa ia telah hidup di rancah spiritual. Zen mengajar kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran dualisme hitam putih. Bagaimana pun kita hidup di dunia dan sampai tahap tertentu harus menjalani kehidupan dunia. Tetapi segi spiritual, segi bathin - amatlah penting untuk peningkatan evolusi jiwa manusia dan kita tidak boleh terjebak dalam maya - ilusi dunia.
Dualisme adalah produk dari pikiran - Zen berupaya untuk mengembalikan kita pada hakikat kesatuan dari segala sesuatu dan men-sintesa-kan keseluruhan dari kita ke suatu kondisi yang seimbang.
Pengantar untuk pokok-pokok ajaran berikut :
Buddhisme Zen menurut Prof Dr. Suzuki adalah bagaikan sebuah organisme yang hidup. Organisme yang hidup tumbuh dan berkembang. Benih Buddhisme berasal dari India - diturunkan oleh Siddharta, sang Buddha - kepada Mahakasyapa. Benih ini kemudian tumbuh dan berkembang. Seribu tahun kemudian dengan kedatangan Bodhidharma di Tiongkok, benih Buddhisme ini mencapai Tiongkok dan di sana bertemu dengan sebuah lapangan pergulatan baru. Buddhisme Zen ( yang di Tiongkok disebut Chan ) bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme. Terjadilah tatap muka, pergulatan. Beberapa aspek ajaran Taoisme dan Konfusianisme terserap masuk. Buddhisme Zen muncul dengan wajah baru - ia menjadi lebih lengkap. Ajaran Taoisme yang mengutamakan harmoni dengan alam semesta memperindah wajah Buddhisme yang sedang tumbuh ini. Ajaran Konfusianisme yang mengutamakan pragmatisme dalam memandang hidup menambah warna. Tekanan dalam ajaran Buddhisme Zen agar hidup dalam ke-kini-an , saat ini - memperoleh penguatan dari ajaran Konfusius.
Tetapi - inti dari Zen tetaplah Buddhistis. Inti Zen adalah semata-mata ajaran Inti Siddharta - sang Buddha. Meditasi dan Pencerahan. Tanpa keduanya - tonggak Zen runtuh. Tidak ada lagi Zen. Praktisi Zen sangat mengetahui hal itu.
Sementara berkembang pendapat-pendapat ekstrim dari mereka yang kurang memahami.
Ada yang mengatakan bahwa Zen tidak lain merupakan suatu ' perkawinan ' , suatu sintesa antara Buddhisme dan Taoisme - antara India dan Tiongkok.
Ada ahli lain seperti Prof. Fung Yu Lan yang justru mengatakan bahwa Zen tidak lain adalah Konfusianisme dalam perkembangan lanjut - yaitu apa yang dia katakan sebagai Neo- Konfusianisme. Demikian pula halnya dengan Prof. A.K. Coomaraswamy yang menulis bahwa Zen adalah satu bentuk Buddhisme yang tercemar - suatu pendapat yang sangat bias dan amat sangat tergesa-gesa.
Saya pikir pendapat-pendapat tersebut muncul dari pengamat yang hanya melihat dari luar saja. Seorang praktisi Zen akan sangat mengerti bahwa apa yang dilakukan dalam latihan adalah Inti dari ajaran Buddha itu sendiri - bukan yang lain. Meditasi untuk Pencerahan - Itulah Zen ! Inilah ajaran Buddha - inti ajaran yang diturunkan pada Mahakasyapa. Jalan Zen adalah Jalan Buddha.
Karenanya - sangat bagus penggambaran dari Anand Krishna yang mengatakan bahwa Zen adalah Buddhisme yang benihnya berasal dari India, benih itu kemudian tumbuh dan berbunga di Tiongkok ( ketika bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme dan menyerap beberapa aspek ajaran-nya ) dan kemudian berbuah di Jepang - ketika cara hidup khas Jepang yang sangat kreatif mengubah dan memperindah Zen sampai pada bentuk yang kita kenal sekarang ini. Di Jepang - lah Zen kemudian melatarbelakangi filosofi arsitektur Taman dan Ruang, seni merangkai bunga Ikebana, seni drama Noh, upacara minum teh Cha No Yu, permainan pedang para pendekar Samurai Jepang dan Ilmu Bela Diri. Yang disebut terakhir ini sebenarnya telah mulai di Tiongkok ketika Bodhidharma mendirikan biara Shaolin di Lo Yang - Tiongkok.
Atau ibarat sosok yang berpakaian dan berhias - sosok tubuh Zen adalah Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme menjadi ibarat pakaian dan perhiasan yang dikenakannya.
7. Mushotoku - Berhenti Mengejar
Melakukan apa yang harus dilakukan. Tanpa Pamrih. Tanpa terlebih dulu memikirkan hasil atau keuntungan. Menjalankan sesuatu sebagai suatu Dharma - sesuatu yang memang telah menjadi suatu hal yang harus dilakukan.
Melakukan apa yang harus dilakukan. Tanpa Pamrih. Tanpa terlebih dulu memikirkan hasil atau keuntungan. Menjalankan sesuatu sebagai suatu Dharma - sesuatu yang memang telah menjadi suatu hal yang harus dilakukan.
8. Sekarang, Di Sini, Saat Ini
Inilah pragmatisme yang harus dilakukan dalam memandang kehidupan. Yang paling nyata adalah sekarang yang terus berubah. Kehidupan harus dijalani pada kenyataannya yang paling riel, paling nyata - yaitu saat ini. Masa lalu tak akan kembali, masa depan belum nyata.
Di sini Zen bertemu dengan Konfusius. Konfusius selalu menekankan pada sekarang. Konfusius mementingkan apa yang nyata terlihat - apa yang ada dihadapan kita. Sangat membumi.
9. Wu - Wei
Istilah ini susah diartikan dan bahkan sangat sering salah diterjemahkan. Inilah kebijakan yang berasal dari Taoisme. Sering diterjemahkan sebagai : Tidak berbuat - atau dalam Bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai ' Action in No Action ' - sebuah terjemahan yang mungkin artinya agak membingungkan.
Yang mendekati arti sesungguhnya dari wu-wei mungkin adalah :
Kebijakan untuk tidak mencampuri, tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan apa yang alami. Let nature takes care of itself - Biarkan yang alami bekerja, jangan memaksakan, jangan mengatur, jangan mempengaruhi. Biarkan Hukum Alam bekerja. Harmoni dengan alam.
Sumber: http://tamandharma.com
Terima kasih.. Tulisannya sangat bermanfaat.
BalasHapus